25 Februari 2014

Menepis Kesenjangan Pulo Bajo: Jembatan Limpas Terpanjang

Oleh: Marwan (FK Manggalewa, Dompu)

Selama puluhan tahun, roda watu seakan terhenti di Pulo Bajo, Kwangko, Kabupaten Dompu. Di saat berbagai fasilitas publik dinikmati masyarakat sebagai hasil pembangunan, anak-anak Pulo Bajo masih harus berenang untuk mencapai sekolah yang berada di seberang pulau di mana mereka tinggal. Kalaupun selamat sampai tujuan, sudah pasti baju dan celana mereka basah. Belum lagi ancaman ketam dan kaki teriris cangkang tiram, menjadi makanan sehari-hari bagi anak-anak SDN 5 Manggalewa ini.
Bila beruntung, anak-anak ini bisa menumpang perahu nelayan yang lewat atau memilih berjalan mengelilingi setengah pulau untuk sampai ke tujuan. Di saat musim angin barat (sekitarJanuari-Maret) orang tua tidak mengijinkan anak-anaknya untuk bersekolah karena sangat beresiko. Praktis pada bulan-bulan itu, sekolah kosong, tanpa siswa. “Dari 105 anak yang bersekolah di SDN 5 Manggalewa, paling hanya ada 6 orang anak yang datang, yaitu anak-anak yang tinggal di Dusun Bajo Baru, tempat SD ini berada.” terang Manabe (49) Kepala Sekolah SDN 5 Manggalewa, satu-satunya sekolah yang ada di Pulo Bajo. Demikian pula 17 guru pengajar SDN 5 Manggalewa. Hal ini mau tidak mau berpengaruh terhadap kualitas pendidikan di Kwangko. Pulo Bajo dan Kwangko seakan makin tenggelam bersama pasangnya air laut Dompu. Kondisi yang sama juga terjadi di bidang ekonomi masyarakat Kwangko. Rumput laut menjadi andalan mata pencaharian 435 kk atau sekitar 955 jiwa di Pulo Bajo, Kwangko. Harapan peningkatan produksi rumput laut yang mencapai 20% setiap tahun menjadi tumpuan hidup masyarakatnya. Setidaknya ada 250 hektar usaha rumput laut yang digarap, “Belum lagi 1100 ha yang belum tergarap,” ujar Kades Kwangko Syaiful Baharudin. Pun demikian, kesejahteraan masyarakat Kwangko masih belum menggembirakan. Harga rumput laut sangat bergantung pada tengkulak, petani rumput laut seringkali harus melepas dengan harga yang rendah karena tak mungkin membawa sendiri dagangannya, akibat keterbatasan transportasi dan prasarana yang ada. Kebutuhan akan akses jalan darat untuk dukungan kegiatan sehari-hari masyarakat Kwangko memunculkan ide dan gagasan dalam musyawarah dusun yang menghendaki adanya jembatan penghubung antara kampung Cau dan kampung Tua I yang terpisah oleh air laut meskipun berada satu desa; Desa Kwangko. Usulan ini saat itu dirasa cukup menggelikan, karena dipandang hampir tidak mungkin dilakukan di PNPM. Betapa tidak? Untuk melakukan pembangunan jembatan ini berarti harus membendung air laut, atau paling tidak menunggu air laut surut, barulah bisa dikerjakan. Belum lagi ukurannya yang cukup panjang, sedikitnya teridentifikasi sepanjang 310 m harus dibuat jembatan untuk dapat menghubungkan dua dusun ini. Sungguh suatu pekerjaan besar. Kesulitan teknis dan pengadaan material juga menjadi pertimbangan, karena plafon dana Rp 350 juta tentu tidak dapat mencukupi.
Karena memang sangat dibutuhkan masyarakat setempat, usulan ini kemudian diakomodir melalui kegiatan PNPM Integrasi 2013. Bermodalkan dana kegiatan sebesar Rp 474.499.500,- dan biaya operasional TPK 14.688.000,- FK (Marwan), FT (Istamar) Kecamatan Manggalewa dan TPK Kwangko bekerja keras bersama mayarakat agar jembatan penghubung ini terwujud. Seperti perkiraan awal, kegiatan ini menemui banyak kendala, belum lagi beberapa pihak yang meragukan keberhasilan kegiatan ini, namun masyarakat Manggalewa tetap bertekad untuk melaksanakannya. Desain dan rencana anggaran pun dibuat, meskipun beberapa kali mengalami perubahan karena pengadaan material lokal yang selalu telat dan harga lansiran bahan yang cukup besar memaksa FT harus menyesuaikan Desain dan RAB dengan kenyataan yang ditemui di lapangan. Pada juli 2013, kegiatan baru bisa dimulai. Semangat TPK dan masyarakat, wajah penuh harap dari anak-anak dan masyarakat bajo pada umumnya telah menjadi pendorong terwujudnya Pulo Bajo yang tidak terisolasi. “ Kami siap menepis kesenjangan dan distorsi pembangunan manakala dukungan pemerintah dan lembaga lain masuk di Pulo Bajo”, seru Kades Syaiful Baharudin bersemangat. Akhirnya, impian masyarakat pun tercapai, jembatan yang menghubungkan dua dusun ini selesai dikerjakan. Setelah dilakukan sertifikasi teknik, jembatan ini pun diserahterimakan kepada masyarakat pada 8 Februari 2014 lalu. Riwayat 37 tahun berenang-renang berangkat dan pulang sekolah telah berakhir tahun ini. Rusaknya perahu angkutan sumbangan dana BOS tak lagi menjadi masalah. Tahun 2014 menjadi tahun terindah bagi siswa dan guru SDN 5 Manggalewa, khususnya masyarakat Kampung Cau, karena kini mereka dapat merasakan hasil jerih payah mereka sendiri. Tidak ada lagi perasaan orang tua yang cemas menunggu anaknya di seberang, Mereka dapat pulang lebih cepat, hanya perlu waktu 5-10 menit dengan berjalan kaki atau bersepeda. Di sore hari, jembatan ini juga digunakan anak-anak untuk bermain dan berlari-lari gembira bersama teman-temannya. Yang menarik, menurut FK Manggalewa, jembatan berukuran 490 m x 1,4 m, (310 m di antaranya berada di laut) diyakini sebagai jembatan limpas terpanjang yang pernah dibuat oleh PNPM. Dengan semangat Marwan mengungkapkan niatannya untuk mendaftarkannya ke Guiness Book of Record 2014 sebagai jembatan limpas terpanjang. Jembatan limpas 490 meter memang cukup panjang, tetapi tidak sepanjang waktu yang harus dilalui masyarakat Pulo Bajo, Kwangko untuk menepis ketertinggalannya (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar