25 Februari 2014

Pendekatan Budaya untuk Sosialisasi dan Meningkatkan Pastisipasi

Melalui pendekatan budaya, PNPM NTB dan PSF bersama Yayasan Kelola dan Komunitas Kreatif (KK) II, kembali melakukan sosialisasi dan mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan PNPM NTB. Bila KK I menggunakan media video partisipatif di Dusun Malaka, kali ini KK II yang merupakan lanjutan dari KK I, berkiprah dengan video partisipatif, sastra, musik, tari dan teater. Malam semakin larut, tapi keceriaan tak makin surut. Masyarakat Pemenang Timur dan sekitarnya tumpah ruah memenuhi halaman depan balai pelatihan yang dibangun PNPM MPd di Desa Pemenang Timur, Lombok Utara. Pentas seni yang digelar dan dilakukan oleh warga mereka sendiri, menyedot perhatian. Tak heran, karena di ajang ini, mereka bisa meluapkan isi hati dan pikiran mereka dalam ekspresi budaya. Bukan hanya orang dewasa, anak-anak dan remaja pun terlibat aktif dalam pementasan ini.
Ada yang menuangkannya ide dan uneg-unegnya melalui musik, video, sastra-puisi, tari dan teater. Acara berlangsung sejak pagi hingga acara puncak dilakukan malam harinya. Siang hari yang diguyur hujan lebat, hingga membuat becek lokasi pementasan tak menyurutkan warga untuk hadir menyaksikan dan mengisi acara. Dari anak-anak sampai nenek-kakek tidak melewatkan acara puncak berupa teater yang pemainnya adalah orang-orang yang mereka kenal, yaitu warga Pemenang Timur sendiri, khususnya warga Tebango Bolot. Yang dilakonkan dalam drama teater yang diberi judul ‘Senandung Merah dari Atas Bukit’ itu juga bukan fiksi, tetapi kenyataan yang mereka alami sehari-hari, disajikannya pun dalam bahasa lokal. Teater berkisah tentang buruknya jalan penghubung antar dusun, makin turunnya hasil pertanian mereka, sulitnya irigasi, jalan yang rusak hingga kesulitan dalam mendapatkan layanan kesehatan di dekat mereka tinggal. Di Dusun Tebango Bolot, beberapa ibu bahkan pernah harus melahirkan di jalan karena tidak adanya poskesdes dan layanan kesehatan di lingkungan mereka. “Cerita dalam drama teater ini adalah kisah nyata yang saya alami,” ujar Komang (32) yang berpartisipasi dalam drama ini. “Saya terpaksa melahirkan anak saya yang kedua ini dalam perjalanan, di tangga pura, karena tidak kuat lagi berjalan sampai ke poskesdes. Lokasi poskesdes jauh dari dusun kami, belum lagi lokasi Tebango Bolot yang jauh lebih tinggi dari dusun lain di Desa Pemenang Timur,” lanjutnya sambil memangku anak keduanya yang baru berumur 2 tahun.
Dengan adanya kegiatan seni ini, Yadi (38) dan Made (34) menyatakan bahwa mereka baru mengerti keberadaan PNPM MPd dan PNPM GSC, “Kami tidak pernah dilibatkan dalam musyawarah dusun maupun desa”, ujarnya. Lokasi Tebango Bolot Atas yang agak terpisah dan terjal, disinyalir menjadi sebab informasi itu tidak sampai. “Demikian juga bila ada musyawarah perempuan,” timpal Komang. “Padahal kalau tahu, pasti saya datang” Menurut Roni Setiawan, pendamping KK I dan KK II, kegiatan ini bukan semata-mata bertujuan untuk memproduksi karya seni, namun sebagai ekspresi kreatif yang diterapkan oleh para seniman untuk medium penyadaran warga dalam proses kegiatan PNPM MPd dan GSC. Sedangkan capaian akhir proses, berupa karya seni hasil kerja bareng warga dan seniman, merupakan media penyampai pesan warga atas masalah sosial yang sedang dihadapi di lingkungannya dan harapan mereka. “Festifal seni Desa Pemenang Timur merupakan pagelaran presentasi karya yang dihasilkan dari residensi seni yang dilaksanakan oleh sejumlah seniman Lombok,” jelas Roni. Secara khusus, kolaborasi seni ini juga mempertunjukkan tari sireh yang nyaris punah, kepada masyarakat umum agar tari tradisi sireh tetap dikenal. Bukan hanya teater, demikian juga masalah yang diangkat dalam video. Karya video yang dipamerkan mengangkat persoalan yang ada di sekitar lingkungan komunitas warga Muhajirin, seperti masalah sampah yang mengganggu kenyamanan dan kesehatan, perajin krupuk yang kekurangan modal, penambang pasir yang merusak lingkungan hingga fenomena pernikahan dini. Sementara dalam karya sastra, selain mengangkat masalah serupa, juga membidik masalah lain yang terjadi di Tebango Idik, yakni citra buruk warga karena kebiasaan minum minuman keras yang dilakukan warga di luar komunitas. Residen seni yang berakhir dengan kegiatan festival seni di Pemenang Timur ini merupakan upaya memperkuat proses pemberdayaan masyarakat, khususnya kelompo marjinal dengan menggunakan proses kreatif. Dengan cara ini, kelomok masyarakat marjinal ini mampu menyuarakan aspirasi serta meningkatan keterlibatannya dalam proses pembangunan desa, khususnya yang berkaitan dengan PNPM.

Menepis Kesenjangan Pulo Bajo: Jembatan Limpas Terpanjang

Oleh: Marwan (FK Manggalewa, Dompu)

Selama puluhan tahun, roda watu seakan terhenti di Pulo Bajo, Kwangko, Kabupaten Dompu. Di saat berbagai fasilitas publik dinikmati masyarakat sebagai hasil pembangunan, anak-anak Pulo Bajo masih harus berenang untuk mencapai sekolah yang berada di seberang pulau di mana mereka tinggal. Kalaupun selamat sampai tujuan, sudah pasti baju dan celana mereka basah. Belum lagi ancaman ketam dan kaki teriris cangkang tiram, menjadi makanan sehari-hari bagi anak-anak SDN 5 Manggalewa ini.
Bila beruntung, anak-anak ini bisa menumpang perahu nelayan yang lewat atau memilih berjalan mengelilingi setengah pulau untuk sampai ke tujuan. Di saat musim angin barat (sekitarJanuari-Maret) orang tua tidak mengijinkan anak-anaknya untuk bersekolah karena sangat beresiko. Praktis pada bulan-bulan itu, sekolah kosong, tanpa siswa. “Dari 105 anak yang bersekolah di SDN 5 Manggalewa, paling hanya ada 6 orang anak yang datang, yaitu anak-anak yang tinggal di Dusun Bajo Baru, tempat SD ini berada.” terang Manabe (49) Kepala Sekolah SDN 5 Manggalewa, satu-satunya sekolah yang ada di Pulo Bajo. Demikian pula 17 guru pengajar SDN 5 Manggalewa. Hal ini mau tidak mau berpengaruh terhadap kualitas pendidikan di Kwangko. Pulo Bajo dan Kwangko seakan makin tenggelam bersama pasangnya air laut Dompu. Kondisi yang sama juga terjadi di bidang ekonomi masyarakat Kwangko. Rumput laut menjadi andalan mata pencaharian 435 kk atau sekitar 955 jiwa di Pulo Bajo, Kwangko. Harapan peningkatan produksi rumput laut yang mencapai 20% setiap tahun menjadi tumpuan hidup masyarakatnya. Setidaknya ada 250 hektar usaha rumput laut yang digarap, “Belum lagi 1100 ha yang belum tergarap,” ujar Kades Kwangko Syaiful Baharudin. Pun demikian, kesejahteraan masyarakat Kwangko masih belum menggembirakan. Harga rumput laut sangat bergantung pada tengkulak, petani rumput laut seringkali harus melepas dengan harga yang rendah karena tak mungkin membawa sendiri dagangannya, akibat keterbatasan transportasi dan prasarana yang ada. Kebutuhan akan akses jalan darat untuk dukungan kegiatan sehari-hari masyarakat Kwangko memunculkan ide dan gagasan dalam musyawarah dusun yang menghendaki adanya jembatan penghubung antara kampung Cau dan kampung Tua I yang terpisah oleh air laut meskipun berada satu desa; Desa Kwangko. Usulan ini saat itu dirasa cukup menggelikan, karena dipandang hampir tidak mungkin dilakukan di PNPM. Betapa tidak? Untuk melakukan pembangunan jembatan ini berarti harus membendung air laut, atau paling tidak menunggu air laut surut, barulah bisa dikerjakan. Belum lagi ukurannya yang cukup panjang, sedikitnya teridentifikasi sepanjang 310 m harus dibuat jembatan untuk dapat menghubungkan dua dusun ini. Sungguh suatu pekerjaan besar. Kesulitan teknis dan pengadaan material juga menjadi pertimbangan, karena plafon dana Rp 350 juta tentu tidak dapat mencukupi.
Karena memang sangat dibutuhkan masyarakat setempat, usulan ini kemudian diakomodir melalui kegiatan PNPM Integrasi 2013. Bermodalkan dana kegiatan sebesar Rp 474.499.500,- dan biaya operasional TPK 14.688.000,- FK (Marwan), FT (Istamar) Kecamatan Manggalewa dan TPK Kwangko bekerja keras bersama mayarakat agar jembatan penghubung ini terwujud. Seperti perkiraan awal, kegiatan ini menemui banyak kendala, belum lagi beberapa pihak yang meragukan keberhasilan kegiatan ini, namun masyarakat Manggalewa tetap bertekad untuk melaksanakannya. Desain dan rencana anggaran pun dibuat, meskipun beberapa kali mengalami perubahan karena pengadaan material lokal yang selalu telat dan harga lansiran bahan yang cukup besar memaksa FT harus menyesuaikan Desain dan RAB dengan kenyataan yang ditemui di lapangan. Pada juli 2013, kegiatan baru bisa dimulai. Semangat TPK dan masyarakat, wajah penuh harap dari anak-anak dan masyarakat bajo pada umumnya telah menjadi pendorong terwujudnya Pulo Bajo yang tidak terisolasi. “ Kami siap menepis kesenjangan dan distorsi pembangunan manakala dukungan pemerintah dan lembaga lain masuk di Pulo Bajo”, seru Kades Syaiful Baharudin bersemangat. Akhirnya, impian masyarakat pun tercapai, jembatan yang menghubungkan dua dusun ini selesai dikerjakan. Setelah dilakukan sertifikasi teknik, jembatan ini pun diserahterimakan kepada masyarakat pada 8 Februari 2014 lalu. Riwayat 37 tahun berenang-renang berangkat dan pulang sekolah telah berakhir tahun ini. Rusaknya perahu angkutan sumbangan dana BOS tak lagi menjadi masalah. Tahun 2014 menjadi tahun terindah bagi siswa dan guru SDN 5 Manggalewa, khususnya masyarakat Kampung Cau, karena kini mereka dapat merasakan hasil jerih payah mereka sendiri. Tidak ada lagi perasaan orang tua yang cemas menunggu anaknya di seberang, Mereka dapat pulang lebih cepat, hanya perlu waktu 5-10 menit dengan berjalan kaki atau bersepeda. Di sore hari, jembatan ini juga digunakan anak-anak untuk bermain dan berlari-lari gembira bersama teman-temannya. Yang menarik, menurut FK Manggalewa, jembatan berukuran 490 m x 1,4 m, (310 m di antaranya berada di laut) diyakini sebagai jembatan limpas terpanjang yang pernah dibuat oleh PNPM. Dengan semangat Marwan mengungkapkan niatannya untuk mendaftarkannya ke Guiness Book of Record 2014 sebagai jembatan limpas terpanjang. Jembatan limpas 490 meter memang cukup panjang, tetapi tidak sepanjang waktu yang harus dilalui masyarakat Pulo Bajo, Kwangko untuk menepis ketertinggalannya (*)

HABIS GELAP TERBITLAH TERANG

oleh : Ahmad Syafruddin, ST (FK. Kecamatan Sekongkang)

Desa Tatar yang berada di Kecamatan Sekongkang, Sumbawa Barat dulunya adalah lokasi transimigrasi UPT Tongo I SP II, pada 6 Juni 1996 kemudian didefinitifkan menjadi desa Tatar melalui tata praja pemerintahan yang sah, dan terdiri dari 3 (tiga) dusun. Secara geografis Desa Tatar berada di Selatan Kabupaten Sumbawa Barat, mengitari pantai dan berbatasan langsung dengan laut lepas Hindia Belanda. Jumlah penduduk berdasarkan data statistik desa mencapai 231 KK atau setara 1.001 jiwa, terdiri dari 468 laki-laki dan 129 perempuan. Sebanyak 140 KK termasuk rumah tangga miskin (RTM).
Selama belasan tahun, sejak terben-tuk hingga 2008 lalu, penduduk Desa Tatar belum pernah menikmati fasilitas penerangan listrik. Masyarakat mengan-dalkan lampu tempel untuk menerangi rumah dan lingkungan mereka. Kondisi seperti ini sangat merugikan masyarakat dari berbagai sisi, termasuk di dalamnya tidak nyaman bagi anak-anak sekolah untuk belajar di malam hari, kesulitan penerangan di jalan yang sangat diperlukan, terutama bila ada anggota masyarakat yang mengalami darurat kesehatan (sakit, melahirkan) untuk menuju fasilitas kesehatan. Belum lagi harga minyak tanah yang kian melambung, menjadi beban tersendiri. Selain repot dan mahal, penggunaan lampu tempel yang berbahan bakar minyak tanah ini juga menyimpan ancaman bahaya kebakaran, apalagi rumah penduduk yang sebagian besar terbuat dari kayu dan bilik bambu sangat mudah terbakar . Di sisi lain, lampu tempel juga menghasilkan jelaga yang tidak menyehatkan, terutama untuk pernafasan. Pada Tahun 2008 muncullah secercah harapan masyarakat akan terpenuhinya kebutuhan penerangan. Harapan itu muncul setelah di Kecamatan Sekongkang hadir Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM–MPd) , program pemerintah yang mengakomodir semua usulan masyarakat yang berkenaan dengan kebutuhan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lainnya.
Dana anggaran tahun anggaran 2009 memberi kesempatan masyarakat Desa Tatar untuk mengusulkan pengadaan genset untuk listrik Desa, sebanyak 3 unit yang akan dimanfaatkan untuk 3 dusun, sehingga satu dusun bisa memanfaatkan 1 unit mesin genset. Kegiatanpun dimulai, Desa Tatar mendapatkan alokasi dana PNPM MPd TA 2009. Pengadaan genset dan jaringan ke rumah-rumah warga dibuat. Sejak saat itu harapan akan kehidupan yang terang, aman, dan nyaman bisa terwujud. Hingga kini, kehidupan masyarakat Desa Tatar sangat nyaman dengan hadirnya mesin genset tersebut. Untuk pengelolaan listrik, masyarakat membahasnya melalui musyawarah desa. Dalam musyawarah tersebut juga disepakati struktur organisasi kepengurusan beserta tupoksinya dan awik-awik yang mengiringi operasional perawatan mesin tersebut. Untuk biaya operasional, mereka menarik iuran bulanan dari warga yang memakai listrik di rumahnya. (*)

Amis Berbuah Manis

Oleh: Bq Eka Yuliana (Faskab Lombok Timur)

Amisnya ikan yang sering dihindari oleh banyak orang, justru berbuah manis bagi Ibu Rusniah (32) dan kelompok simpan pinjam ‘Ingin Maju’ yang diketuainya. Betapa tidak? Setiap hari Rusniah dan sebagian besar perempuan di kampungnya bergelut dengan amisnya ikan, mengolahnya menjadi pindang maupun ikan asin. Keterbatasan modal dan peralatan memang membuat mereka tidak bisa mendapat hasil maksimal, kadang mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun setelah mengenal program Simpan Pinjam khusus Perempuan (SPP) PNPM MPd sejak 2009 lalu, kehidupan Rusniah dan keluarga semakin baik dan baik lagi.
Bila sebelumnya kehidupan Rusniah hanya bergantung dari hasil tangkapan ikan suaminya yang berprofesi sebagai nelayan, dalam 5 tahun terakhir ibu dua anak ini mampu membantu suaminya memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga mereka. Bahkan hanya perlu waktu 3 tahun saja, Rusniah berhasil merubah rumah bedeknya menjadi rumah permanen yang nyaman. Warga Desa Gunung Malang, di ujung Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur ini mengenal SPP PNPM MPd dari kepala dusun tempat ia tinggal. “Ini ada program pinjaman lunak dari PNPM MPd untuk kelompok usaha perempuan, mau ikut tidak?”, begitu Rusniah mengutip kalimat pak kadus ketika menawari nya SPP. Tak perlu waktu lama untuk berpikir, Rusniah dan 15 orang anggota kelompok ‘Ingin Maju’ memutuskan menerima tawaran pak kadus untuk ikut di program SPP PNPM Md. Proposal pun disusun, setelah melalui verifikasi, kelompok ini dinyatakan layak untuk menerima pinjaman. Pinjaman yang pertama awalnya memang tak cukup besar, hanya Rp 10 juta yang harus dibagi untuk 15 orang anggota kelompok. Itu berarti setiap orang menerima pinjaman tidak sampai Rp 1 juta bahkan ada yang menerima hanya Rp 500 ribu, tergantung kebutuhan masing-masing anggota. Tetapi, dari dana yang tak seberapa ini telah berhasil membantu kehidupan perempuan-perempuan Gunung Malang ini. Mereka bahkan mampu membentuk tabungan kelompok yang sekali waktu digunakan untuk menutup kewajiban anggota yang terlambat membayar, atau dipinjamkan lagi ke anggota kelompok. Dengan sistem tanggung renteng seperti ini, cicilan kelompok ke Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM MPd menjadi lancar, sehingga mereka dipercaya menerima perguliran lagi dengan jumlah yang lebih besar. Di perguliran yang ke-lima akhir tahun 2013 lalu, Rusniah menerima Rp 3 juta untuk menambah modal dia membeli ikan. Besarnya manfaat yang dirasakan, administrasi kelompok yang jelas dan transparan, serta pengurus yang dipercaya membuat banyak perempuan Gunung Malang yang tertarik untuk bergabung dalam kelompok SPP ‘Ingin Maju’. Jumlah anggota kelompok pun berkembang menjadi 30 orang.
Dari beberapa kali pinjaman SPP tersebut Rusniah gunakan untuk membeli berbagai peralatan pengolahan ikan segar menjadi ikan asap, pindang dan ikan asin. Ikan segar dibelinya seharga Rp 150-190 ribu per bak. Rata-rata dia mengeluarkan Rp 5 juta, untuk sekali belanja di tempat penjualan ikan terdekat. Setelah diolah menjadi ikan pindang, Rusniah mampu meraup keuntungan sedikitnya Rp 75 ribu/bak. Permintaan pasar sangat menggembirakan, tak jarang Rusniah harus mendatangkan ikan segar dari Sumbawa agar bisa memenuhi pesanan, “Tetapi di saat musim angin barat begini, sangat sulit mendapatkan ikan segar untuk kita olah menjadi pindang,” tutur Rusniah. Namun di saat banyak ikan segar bisa diolah pun, mereka merasa kesulitan karena kekurangan tempat untuk memidang. Selama ini mereka menggunakan jaring ikan yang sudah tidak terpakai untuk memidang agar ikan-ikan olahannya tidak kotor. Karena itulah mereka mengajukan usulan pengadaan alat pemidangan agar produksi bisa lebih maksimal. Mudah-mudahan usulan ini bisa terrealisasikan segera dan makin banyak perempuan Gunung Malang yang menikmati manisnya hidup dari pergulatannya dengan amisnya ikan. (*)

15 Februari 2014

KECAMATAN PRINGGABAYA GELAR MAD PRIORITAS MP3KI TA 2014

Oleh: Juan Putra Baya (BKAD Pringgabaya, Lombok Timur)

Masuknya program Master Plan Peningkatan dan Percepatan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) tahun anggaran 2014 membawa angin segar bagi masyarakat kecamatan Pringgabaya. MP3KI merupakan rancangan pembanguanan yang dikelola oleh Bapenas untuk wilayah-wilayah yang dinilai perlu mendapatkan perhatian khusus. Secara struktural MP3KI kemudian ‘ditempelkan’ ke program PNPM MPd dengan nama resmi: “PNPM MPd Pola Khusus MP3KI, di mana perencanaannya dibagi dalam ‘Program Percepatan’ dan ‘Program Penguatan’. Dalam Pola Percepatan, jenis kegiatan ditentukan oleh pemerintah pusat, sedangkan dalam pola penguatan, masyarakat merencanakan sendiri kegiatan yang akan dilakukan, seperti mekanisme yang selama ini berlaku di PNPM MPd. Tahun 2014 ini merupakan tahun pertama diluncurkannya Pola Khusus MP3KI. Ada 12 kecamatan di NTB yang menerima dana MP3KI, di antaranya adalah Kecamatan Pringgabaya. Dengan menerima dana MP3KI, berarti Pringgabaya menerima total dana sekitar Rp 7,2 milyar. Di tahun awal ini, MP3KI masih merupakan Pilot Project, yang direncanakan akan diperluas cakupannya dan berlanjut sampai tahun 2025. MP3KI merupakan dukungan terhadapan pelaksanaan MP3EI sebagai grand design perencanaan pembangunan oleh Bapenas.
“Sebagai program baru dan sedang dalam tahap uji coba, maka semua pihak terutama Kepala Desa dan BPD sekecamatan Pringgabaya harus berperan aktif dalam mengawal kegiatan ini. Anggaran 7,2 milyar per tahun merupakan anggaran yang sangat fantastis dan baru pertama kali diperoleh Kecamatan Pringgabaya,” demikian ungkapan Ketua Tim Pelaksana (TPK) MP3KI Kecamatan Pringgabaya Judan Putrabaya SH dalam laporannya saat MAD awal Januari 2014 lalu, di aula kantor Camat Pringgabaya. Besarnya anggaran, bisa dilihat konsekuensinya dalam dua sisi. Sisi pertama adalah sebagai kesempatan dan peluang bagi masyarakat untuk dapat meningkatkan pembangunan infra struktur perdesaan juga merupakan tantangan, sebab jika dana yang besar ini tidak dikelola secara transparan maka tentu akan menimbulkan gejolak dan bahkan tidak menutup kemungkinan akan menjadi lirikan KPK, oleh karenanya maka transparansi, profesionalitas dan akuntabilitas mutlak harus dikedepankan. “Jangan sampai program MP3KI tidak tepat sasaran yaitu meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin di Kecamatan Pringgabaya, karena peningkatan kesejahteraan rakyat miskin serta pemberdayaan masyarakat merupakan roh dari Program PNPM MPd,” Senada dengan ungkapan Ketua TPK MP3KI kecamatan Pringgabaya, Camat Pringgabaya Samsul Rizal dalam sambutannya kembali menekankan kepada Pelaku dan Kepala Desa bersama BPD untuk benar-benar bersikap transparan kepada masyarakat dalam pelaksanaan program MP3KI. Perhatikan kualitas dan tertibkan Administrasi, jika dua hal itu disepelekan maka tidak menutup kemungkinan KPK akan memeriksa pelaksanaan program MP3KI di Kecamatan Pringgabaya tandasnya.
Fasilitator Teknik Kabupaten Lombok Timur Lin Wahyulia, menggaris bawahi tentang prinsip pelaksanaan program MP3KI yang mengacu pada PNPM MPd yaitu pemberdayaan masyarakat. “Jangan sekali-kali pelaksanaan Program MP3KI diserahkan pada pihak ke tiga,” ungkapnya. Jika pelaksanaan program MP3KI terbukti dilakukan oleh pihak ketiga, maka jangan berharap program MP3Ki berlanjut sampai tahun 2025. Oleh karena itu semua pihak baik masyarakat, pelaku, pemerintah desa maupun BPD harus ikut bersama-sama mengawal pelaksanaan program MP3KI di wilayahnya. Sebagai bagian dari grand design, pelaksanaan kegiatan MP3KI harus berbasis kawasan, artinya setiap usulan/kegiatan yang dilakukan harus lintas desa, jadi pemanfaatnya adalah masyarakat lebih dari satu desa.Tidak seperti kegiatan PNPM MPd, yang pagu kegiatannya dibatasi hanya maksimal Rp 350 juta, maka dalam MP3KI nilai kegiatan minimal Rp 500 juta/kegiatan. Ketentuan ini mau tidak mau menyebabkan alotnya proses perumusan usulan termasuk dalam MAD Perengkingan dan penetapan lokasi kegiatan MP3KI tahun anggaran 2014. Dalam MAD tersebut dihadiri oleh Camat Pringgabaya, Pastekab Lombok Timur, FK/FT, TPK MP3KI, Kepala Desa dan BPD Se kecamatan Pringgabaya, Perwakilan Desa serta 3 orang perwakilan perempuan dari masing-masing Desa. Dalam diskusi yang berlangsung alot akhirnya diperoleh peringkat usulan, baik pola percepatan maupun penguatan. Selanjutnya peringkat-peringkat usulan tersebut akan diproses lebih lanjut guna persiapan design RAB yang akan dilaksanakan mulai tanggal 9-17 Januari 2014, demikian pernyataan Fasilitator Kecamatan Pringgabaya Muktar Prayadi.
Ketua Forum Kades Kecamatan Pringgabaya AHIR.SH merespon dan menyambut baik kehadiran MP3KI di kecamatan Pringgabaya, sebagai Ketua Forum Kades, Saya berharap Kepada Rekan-rekan Kepala Desa se-Kecamatan Pringgabaya agar ikut bersama-sama mengawal program ini, jangan sampai Kegiatan MP3KI dicederai oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Itulah sebabnya pada saat pembentukan Pokja (Kelompok Kerja) Kami akan mengutus Orang-orang terbaik dari Desa kami masing-masing, hal ini guna menyukseskan pelaksanaan MP3KI di Kecamatan Pringgabaya. Salah seorang perwakilan perempuan; Solatiah SPd yang juga anggota BPD Desa Labuan Lombok merasa haru bercampur bangga dengan kehadiran MP3KI di Kecamatan Pringgabaya. Sebagai Program yang bernaung di PNPM, saya benar-benar telah merasakan dampak dari program-program PNPM yang selama ini dilaksanakan. Adanya keharusan melibatkan kaum perempuan dalam proses pembahasan Program menjadi semangat tersendiri bagi kami sebagai kaum Hawa tandasnya.Lebih-lebih dalam PNPM dikenal istilah Simpan Pinjam Khusus untuk Perempuan(SPP), Program SPP ini telah mampu menekan keberadaan Rentenir di desa kami dan mungkin juga didesa Desa lain dikecamatan Pringgabaya. Melalui program SPP inilah kini Geliat Ekonomi masyarakat desa Khususnya perempuan mulai bangkit sehingga dengan sendirinya Kualitas hidup masyarakat miskin sudah mulai membaik. (*)

Jembatan Doridungga: Mengurangi Biaya Produksi dan Meningkatkan Pendapatan

oleh : Fakhruddin Damrah, Fasilitator Teknik Kabupaten Bima

Desa Doridungga merupakan salah satu Desa di Kecamatan Donggo Kab. Bima, sama seperti Desa lainya di Kec. Donggo topografi Desa Doridungga berada diketinggian 750 meter diatas permukaan air laut dengan kondisi berbukit dan lembah curam sehingga praktis rata-rata mata pencaharian penduduknya adalah bertani lahan kering. Bila kita berkunjung pada musim kemarau, praktis kita hanya melihat lahan kering dengan hamparan yang cukup luas tidak ada harapan hidup disana, betapa tidak lahan yang ada dipenuhi batu dengan ukuran pariatif dari ukuran kerikil sampai ukuran berdiameter 5 meter. Tapi itulah kenyataanya masyarakat Desa Doridungga khususnya dan masyarakat Kecamatan Donggo secara umum menggantungkan hidupnya dari menggarap lahan tersebut yang dapat ditanam sekali setahun hanya pada musim hujan. Dengan hanya menanam sekali setahun hal ini cukup menyulitkan masyarakat untuk meningkatkan tarap hidupnya belum lagi mereka dihadapkan pada bagaimana mengangkut hasil pertanian setelah panen, mengingat topografi yang sulit dimana kondisinya berbukit dan lembah harus mereka tempuh dengan jarak kerumah atau kejalan terdekat bisa mencapai 5000 meter.
Menurut cerita masyarakat untuk mengangkut hasil panen tahun ini tidak jarang harus ketemu dengan musim panen tahun berikutnya, bila harus menyewa kuda kadang mereka tidak mendapat apa-apa dari hasil kerja mereka mengingat biayanya cukup tinggi, yang ada hanya bisa makan untuk menyambung hidup ditahun ini. Solusi lain yang biasa mereka lakukan adalah berpindah tempat tinggal alias mereka harus tinggal dilokasi ladang mereka karena bila tidak maka ada ancaman lain yaitu hama babi.
Terhitung sejak tahun 2007 PNPM-MPd mengalokasikan dana di Kecamatan Donggo maka secara umum usulan masyarakat khususnya masyarakat Desa Doridungga adalah pembukaan jalan. Sudah cukup banyak jalan yang dibuka dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Pada tahun 2012 melalui Mesrenbangdes Masyarakat Desa Doridungga mengusulkan Jembatan penghubung antara 2 jalan yang ada. Sebenarnya jembatan tersebut berada diujung jalan yang didanai melalui PNPM-MPd pada tahun 2010, tapi karena pada tahun 2010 dana tidak mencukupi karena usulan Jalannya berada pada urutan terakhir yang dapat didanai. Pada awalnya masyarakat sudah merasa cukup dengan jalan yang ada hanya saja ketika masuk musim penghujan dimana jembatan darurat yang biasa mereka buat dari timbunan batu dan tanah hanyut diterjang banjir maka praktis akses kelahan mereka menjadi terputus.
Pada tahun 2013 Jembatan yang diharapkan mendapat alokasi dana dari PNPM-MPd sebesar Rp. 308.220.000 dan Rp. 2.550.000 dari Swadaya masyarakat. Serapan tenaga kerja selama pelaksanaan terdiri dari angkatan kerja 74 orang dengan total 2457 Hok termasuk HOK pengadaan batu untuk Jembatan dan 100% dari pekerja adalah ARTM (Anggota Rumah Tangga Miskin). Sebagian besar pekerja untuk pelaksanaan jembatan dari warga desa, kecuali tukang batu yang didatangkan dari luar desa, ini dapat dimaklumi karena menurut Fasilitator Tekhnik Kecamatan sdr. Irawan ST pelaksanaan konstruksi Jembatan harus oleh Tukang yang sudah biasa apalagi konstruksi yang digunakan adalah Konstruksi Pelengkung Beton. Pilihan konstruksi Pelengkung beton menurut sdr. Irawan biayanya lebih murah dan secara konstruksi lebih aman karena beban atau momen maksimum yang biasa berada ditengah jembatan dengan pelengkung momennya menjadi Nol. Dengan telah selesainya Jembatan tersebut praktis akses masyarakat menuju lahan maupun mengangkut hasil menjadi lebih mudah, betapa tidak saat ini mobil atau truk sudah bisa langsung akses ke dekat lahan pertanian masyarakat yang berdampak langsung terhadap menurunnya biaya produksi dan waktu kerja yang lebih pendek.
Harapan masyarakat kedepan seperti yang disampaikan oleh Bapak Adhar selaku Kades di Desa Doridungga yang tak lain adalah mantan TPK, agar pola pelaksanaan seprti PNPM-MPd dapat dilanjutkan sehingga target-target capaian mereka untuk pembangunan dapat terlaksana. Masih menurut Pak Kades dengan adanya PNPM-MPd maka visi, misi selaku kades dalam hal pembangunan diyakini akan dapat terealisasi dengan baik.

MENINGKATKAN PARTISIPASI PEREMPUAN MELALUI PENGEMBANGAN KELOMPOK USAHA KECIL

Oleh : Radiatur Rahmah, Fasilitator Keuangan Kabupaten Bima

Partisiipasi perempuan merupakan hal yang sangat penting dalam pembanguan berbasis pemberdayaan yang notabene juga mencapai tujuan pembangunan. Upaya pengembangan Kelompok Usaha Bersama yang dilakukan oleh perempuan ini menjadi keniscayaan karena perempuan menghadapi kendala-kendal tertentu yang dikenal dengan istilah “triple burden of women”.
Tiga peran yang disandang kaum perempuan, yaitu ketika mereka diminta untuk melaksanakan fungsi reproduksi, produksi, sekaligus fungsi sosial dimasyarakat pada waktu yang bersamaan, menyebabkan kesempatan perempuan untuk memanfaatkan peluang ekonomi menjadi sangat terbatas. Sebagian besar perempuan masih berkutat di sektor informal, atau pekerjaan yang tidak memerlukan kualitas pengetahuan dan ketrampilan yang spesifik. Pekerjaan ini biasanya kurang memberikan jaminan perlindungan hukum dan jaminan kesejahteraan memadai, disamping kondisi kerja yang memprihatinkan serta pendapatan yang rendah. Beberapa studi menunjukkan adanya kecenderungan upah perempuan lebih rendah dari laki-laki. Salah satu studi mengindikasikan upah perempuan sekitar 70% lebih rendah dari upah laki-laki, dan akses terhadap kredit, perempuan diperkirakan mempunyai akses yang lebih kecil, 11% dibandingkan laki-laki. Kondisi tak jauh berbeda terjadi pada kelompok-kelompok usaha (perempuan) yang ada di Kabupaten Bima, Mereka memiliki akses yang terbatas dalam mendapatkan layanan modal dari lembaga keuangan seperti Bank dan Lembaga Perkreditan Rakyat karena memerlukan jaminan dan persyaratan administrasi yang cukup menyulitkan. Mengingat porsi perempuan dalam pengembangan usaha cukup penting, dukungan modal untuk kelompok usaha perempuan sangat diperlukan guna meningkatkan skala usaha maupun diversifikasinya. Keberadaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM MPd) menjawab keniscayaan dalam meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan ekonomi keluarga dan masyarakat, Dengan program dana bergulir, PNPM MPd Kabupaten Bima telah mendanai kelompok (al: pengolahan ikan, tenun, simpan pinjam, kue, menjahit dan pertanian), hingga pertengahan tahun lalu sebanyak 2.313 kelompok , terdiri dari 1.873 kelompok pemula, 282 kelompok berkembang, 158 kelompok matang. Dengan tingkat pertumbuhan kelompok yang cukup tinggi, maka tidak mengherankan pengembangan modal dari dana bergulir pun tumbuh berbanding lurus. Tahun 2007 jumlah modal Rp 17.838.323.600 hingga bulan Mei 2013 mencapai Rp 25.769.948.000, peningkatan pengembangan modal mencapai 45% dengan tingkat pengembalian 85%.
Pertumbuhan kelompok dan pengembangan modal usaha yang cukup tinggi ini tidak terlepas dari peran dari UPK yang melakukan pendampingan administrasi secara rutin kepada kelompok. Pendampingan akan membantu kelompok dalam melakukan penataan administrasi dan pencatatan keuangan dengan baik. Pendampingan dapat juga memastikan agar dapat mengembalikan pinjaman sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Di samping pendampingan rutin oleh UPK juga dilakukan fasilitasi kelompok, merupakan kegiatan yang dilakukan oleh fasilitator kecamatan dalam kaitannya dengan penguatan kelompok, penguatan kelembagaan dan penguatan kegiatan/usaha. Kegiatan fasilitasi dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan fasilitasi sangat membantu kelompok dalam memasarkan produknya karena dapat kegiatan fasilitasi dipelajari bagaimana cara menghubungkan dengan pembeli produk. Tingginya kepeminatan terhadap produk akan meningkatkan omset penjualan, pengembangan modal usaha akan lebih cepat. Untuk menjaga kuintinitas terhadap permintaan produk, maka kualitas harus tetap diperhatikan. Kemampuan menyediakan layanan modal bagi 2.313 kelompok yang ada tidaklah mudah, hal ini tergantung sungguh membuat target dalam pengembangan modal, seperti strategi yang dilakukan untuk mengatasi kelompok-kelompok bermasalah, tim kerja yang kompak dan solid serta bantuan dana diberikan pada kelompok yang tepat sasaran. Jika hasil kerja baik maka kita akan bisa menyakinkan pihak lain bahwa apa yang kita lakukan mencapai tujuan yaitu kemudahan akses permodalan.
Untuk keberlanjutan program dana bergulir dan meningkatkan jumlah kelompok usaha perempuan yang dapat mengakses permodalan dari program ini, meningkat kegiatan pelaporan adalah cara yang paling baik seperti laporan perkembangan pinjaman. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan kegiatan pinjaman dari dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) maupun dana bergulir setiap bulannya. Indikator utama yang dapat dihasilkan dari laporan ini adalah saldo pinjaman, tingkat pengembalian pinjaman dan jumlah tunggakan, dengan demikian kegiatan ini menunjukan perkembangan kegiatan pinjaman (SPP dan UEP). Jika laporan bulanan dengan angka tunggakan yang tinggi maka perlu dilakukan verifikasi ditingkat lapangan untuk mengetahui penyebab kenapa ada tunggakan, dengan demikian akan diketahui bagaiman cara penanganan bagi kelompok-kelompok yang bermasalah dengan tunggakan. Selain itu, laporan pengelolaan keuangan menjadi kebutuhan Unit Pengelola Keuangan (UPK) secara internal untuk mengetahui indikator-indikator perkembangan pengelolaan secara periodik, kebutuhan eksternal adalah memenuhi pihak lain BP-UPK, BKAD pihak lain yang akan melakukan kerjasama dengan UPK serta analisa keuangan dengan lembaga sejenis. Diharapkan prosentase pengembangan modal meningkat sehingga layanan permodalan optimal untuk pengembangan usaha. Berkembangnya Kelompok Usaha Kecil perempuan memberi peluang dalam meningkatkan pendapatan usaha, jaminan kesejahteraan akan lebih memadai, baik ditingkat keluarga maupun ditingkat masyarakat. (*)

13 Februari 2014

PENGADAAN ALAT PRODUKSI

Sebagai SOLUSI PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT Oleh : ROSMANSYIR Fasilitator Tehnik Kecamatan Wera Kabupaten Bima
PNPM-MPd Kecamatan Wera Kabupaten Bima pada tahun anggaran 2013 mengadakan Pelatihan Peningkatan Kapasitas dan Pemberian Bantuan Alat Produksi bagi 22 kelompok yang tersebar di 11 (sebelas) desa. Pengadaan bantuan alat produksi berupa 8 unit hands tractor, 5 unit mesin giling tepung, kopi dan kelapa, 4 unit mesin perontok padi, 4 unit mesin pengupas kacang tanah dan 5 unit sampan / perahu beserta jaring ini sebagai sarana penunjang peningkatan ekonomi masyarakat yang akan dikelola oleh kelompok-kelompok Simpan Pinjam khusus Perempuan (SPP) yang memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan tersebut. Disamping bantuan berupa alat produksi, kelompok-kelompok tersebut diberikan pelatihan dinamika kelompok yang bertujuan agar kelompok-kelompok sasaran dapat mengelola dan memanfaatkan bantuan dengan baik sehingga diharapkan lebih mandiri dan berkembang menjadi kelompok-kelompok yang matang.
Pemberian bantuan pengadaan alat produksi dan pelatihan peningkatan kapasitas ini merupakan pengalihan dana SPP BLM sebesar Rp. 580.533.000,- yang tidak bisa diakses oleh Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Kecamatan Wera karena terbentur oleh persyaratan tehnis yang sudah ditetapkan. Selanjutnya dari hasil verifikasi yang cukup ketat terhadap kelompok-kelompok yang ada dan mengidentisikasi jenis usaha serta adanya dukungan potensi sehingga ditetapkan 22 kelompok dari 615 kelompok SPP yang dikelola oleh UPK. Musyawarah Khusus Perempuan (MKP) ulangpun dilaksanakan di masing-masing desa yang difasilitasi oleh FK/FT, Asisten FK dan UPK sehingga muncullah usulan-usulan tersebut. Bukankah kelompok SPP ini merupakan kumpulan kaum hawa? Lalu kenapa bisa ada hands tractor, sampan / perahu, perontok padi atau pengupas biji kacang? Yang notabene merupakan bagian aktivitas kaum adam? Kenapa bukan pelatihan tataboga, menjahit atau pengadaan alat jahit? Pertanyaan ini muncul bagai petir disiang bolong. Jawabannya tidak cukup dengan mengatakan bahwa itu kebutuhan anggota kelompok dari proses MKP tapi ada kolerasi yang sangat erat hubungannya keberadaan alat ini dengan jenis usaha kelompok. Salah satu contoh pengadaan sampan / perahu dan jaring untuk kelompok Oi Caba Desa Pai. Kelompok ini memiliki jenis usaha sebagai pengumpul dan penjual ikan untuk dipasarkan di luar desa maupun kecamatan seperti Kecamatan Sape dan Kota Bima, penghasilan mereka tergantung dari kelancaran sarana dan prasarana yang ada seperti tersedianya sampan/perahu yang layak dan jaring yang memadai. Kendalanya selama ini, mereka belum punya sampan/perahu dan jaring sendiri sehingga harus membeli ikan dari nelayan lokal dan memasarkan dengan sedikit keuntungan saja. Dengan adanya bantuan perahu/sampan dan jaring ini tentunya mereka hanya menyewa orang lain untuk mengoperasikan alat dan hasilnya akan dipasarkan langsung oleh kelompok. Biaya yang mereka keluarkan hanya sedikit namun memperoleh penghasilan kelompok yang cukup besar. Untuk pengadaan hands tractor, karena di Kecamatan Wera pada umumnya masyarakat bermata pencaharian sebagai petani maka kelompok-kelompok hanya bergantung pada hasil pertanian. Salah satu faktor keberhasilan panen mereka tergantung pada pengolahan lahan yang baik. Biaya pengolahan lahan yang mereka keluarkan selama ini cukup besar dan keberadaan alat seperti hand tractor pun cukup langka. Memang, pengelolaan alat ini tentunya akan melibatkan kaum adam namun akan memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan usaha kelompok. Di samping untuk kebutuhan pengolahan lahan anggota kelompok itu sendiri, dapat juga alat ini disewakan kepada masyarakat lain sehingga biaya sewa akan menjadi aset kelompok. Dengan adanya pemasukan-pemasukan dari hasil pengoperasian alat ini tentunya memberikan harapan yang baru terhadap anggota-anggota kelompok untuk dapat menumbuh kembangkan usaha mereka sehinggga menjadi kelompok yang berkembang, mandiri dan sukses.
Antusias kelompok-kelompok sasaran penerima bantuan ini sangat tinggi. Buktinya pada saat penyerahan secara simbolis oleh Bapak Camat Wera dan PjOK Kecamatan Wera pada tanggal 21 November 2013 di Kantor UPK kepada perwakilan masing-masing kelompok, walaupun cuaca hujan gerimis tidak menyurutkan hati mereka, secercah senyum indah dan tulus merekah dari bibir-bibir mereka. Tidak ada kata atau kalimat yang terucap karena tertahan oleh kegembiraan yang mendalam. Ekspresi kegembiraan mereka ditunjukkan lewat tingkah laku dan tatapan mata yang berembun sambil mendengarkan sambutan Bapak Camat Wera. Dalam sambutan singkatnya, Bapak Camat dan PjOK Kecamatan Wera menghimbau kepada semua pengurus kelompok untuk selalu kompak, menjaga dan mengelola bantuan dengan baik. Bantuan ini merupakan penghargaan program terhadap kelompok-kelompok yang lancar sehingga bentuk penghargaan program ini harus dijaga dan dilestarikan. Dengan adanya bantuan alat dan pelatihan peningkatan kapasitas dari PNPM-MPd, diharapkan sebagai salah satu solusi terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di Kecamatan Wera. Lebih jauh PjOK menambahkan bahwa kaum hawa bukan hanya sekedar pendamping bagi kaum adam namun keberadaannya pada era globalisasi sekarang mampu mengimbangi ataupun melampaui pendidikan maupun aktivitas yang dilakukan oleh kaum adam. Pendidikan pelatihan dinamika kelompok yang diberikan oleh PNPM-MPd agar dapat dipetik dan dipahami terutama mengenai tatacara pengelolaan bantuan dan kelengkapan administrasi kelompok seperti aturan/awiq-awiq kelompok, buku bank, buku kas, buku tamu dan buku notulensi pertemuan rutin kelompok. Kelompok-kelompok SPP menjadi aset produksi UPK yang apabila menjadi kelompok yang mandiri dan berkembang tentu akan memberikan dampak yang cukup besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menurunkan angka kemiskinan yang ada di Kecamatan Wera. Peningkatan kesejahteraan dan penurunan angka kemiskinan bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah namun harus ada kesadaran dan usaha dari masyarakat itu sendiri.
Semoga dengan adanya pengadaan bantuan alat produksi dan pelatihan peningkatan kapasitas ini, memberikan dampak positif bagi kelompok-kelompok yang lain agar dapat melunasi tunggakan-tunggakan yang cukup besar sehingga UPK Kecamatan Wera menjadi kiblat peningkatan ekonomi masyarakat.